Al-Qur'an dan Akal Logika

Al-Qur'an menggunakan dua bentuk penggunaan dalil:
1. Berita-berita yang benar namun tidak di dasarkan pada kerangka logika akal, tetapi sengaja dibuat demikian untuk menetapkan hakikat-hakikat aqidah sebagai suatu aksioma absolut (hukum pasti)
2. Berita-berita yang benar yang di dasarkan pada kerangka logika akal sehat. Dalam hal ini, Al-Qur'an sepenuhnya menekankan konsistensi antara premis-premis analogikanya.
Atas dasar itu di temukan banyak ayat Al-Qur'an yang menggunakan analogi akal absolut. Beberapa di antaranya dapat disebut sebagai berikut:
1.Analogi Kontradiksi Ketuhanan.
Yaitu konklusi yang diambil dari premis-premis yang menyatakan bahwa ketiadaan Dzat pertama mengharuskan ketiadaan dzat yang kedua. Contohnya: firman Alloh subhanahu wa'ta'ala dalamQS. Al Anbiyaa'[21] Ayat:22
 لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
Artinya:"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Alloh, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Alloh yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan".
Konklusi ini dapat diambil dari dua premis berikut:
Premis pertama: jika ada tuhan selain Alloh subhanahu wa'ta'ala baik dilangit maupun dibumi, maka rusaklah keduanya.
Premis kedua: tetapi langitr dan bumi belum rusak.
Konklusi: kalau begitu, tidak ada tuhan di langit dan di bumi selain Alloh subhanahu wa'ta'ala.

2. Analogi Kelebihutamaan.
Inilah yang tertera dalam firman Allah subhanahu wa'ta'ala dalam QS. Ar-Ruum [30]: Ayat : 27
وَهُوَ الَّذِي يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِ وَلَهُ الْمَثَلُ الأعْلَى فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya:"Dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Maksudnya, setiap kesempurnaan wujud yang mungkin ada, yang tidak mengandung kekurangan atau cacat, yang dimiliki makhluk, maka sang Kholiq (pencipta) lebih utama untuk memilikinya. Dan setiap suatu kekurangan yang dianggap cacat bagi makhluk, maka Alloh subhanahu wa'ta'ala terbebas dari kekurangan tersebut. Contoh, mendengar adalah sifat kesempurnaan wujud yang dimiliki oleh makhluk, maka Kholiq lebih utama memilikinya. Sebaliknya, buta adalah sifat kekurangan, dimana makhluk yang memilikinya dianggap cacat. Maka Kholiq lebih utama untuk tidak memilikinya.

3. Menganalogikan yang ghoib (abstrak) atas yang nampak (konkrit).
Yaitu dengan menganalogikan sesuatu yang tidak tertangkap oleh indera kita dari apa yang diberikan Alloh subhanahu wa'ta'ala kepada kita, dengan apa yang kita kenal dan ketahui. Itu akan memudahkan kita mengenali dan memahaminya, sehingga kita akan memperhatikannya bila itu kebaikan, dan menjauhinya bila itu keburukan. Misalnya, menganalogikan apa yang diakhirat dengan apa yang di dunia. Sebab tanpa analogi itu kita akan sulit memahami hakikat akhirat. Tetapi dengan analogi itu, kita menajdi takut atau berharap dan semacamnya.
Analogi terdiri dari dua bentuk:
1) Analogi benar, misalnya contoh tadi.
2) Analogi salah, misalnya menganalogikan keadaan orang kafir di akhirat dengan keadaan mereka di dunia, dimana mereka akan mendapatkan kenikmatan di akhirat karena mereka telah mendapatkan kenikmatan dunia berdasarkan firman Alloh subhanahu wa'ta'ala dalam QS.Saba' [34] Ayat:35

وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالا وَأَوْلادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ
Artinya:"Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab".

4. Sabar dan Taqsim.
Sabar (uji coba) adalah aplikasi dan try out atas asumsi. Taqsim (pemilihan) dari pembatasan asumsi dalam masalah syari'at sampai pada tingkat dimana tak ada lagi kemungkinan adanya asumsi lain. Misalnya, firman Alloh subhanahu wa'ta'ala dalam QS.Ath Thuur [52] Ayat :35
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ
Artinya:"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?".
Dalam ayat ini asumsi di batasi dalam tiga hal:
a) Asumsi pertama; mereka diadakan dari ketiadaan.
b) Asumsi kedua; mereka menciptakan diri mereka sendiri
Kedua asumsi ini salah.
c) Asumsi ketiga ; bahwa mereka mempunyai pencipta, yaitu Alloh subhanahu wa'ta'ala.